Pustaka

Kontribusi Janissary dalam Jihad Pangeran Diponegoro

Salam Sahabat! Kepahlawanan Pangeran Diponegoro sudah amat akrab dengan masyarakat Indonesia. Pahlawan nasional ini men jadi sosok pangeran-santri yang amat gigih memimpin Perang Jawa selama lima tahun (1825-1830) sehingga mampu membang krutkan kas penjajah Belanda.

Belasan ribu pasukan penjajah tewas di tangah para mujahid meski ratusan ribu rakyat juga harus meregang nyawa. Resensi buku Maktabu kali ini akan mengulas karya Ustaz Salim A Fillah. Sosok dai yang juga dianugerahi kemampuan menulis naratif amat baik berhasil menggambarkan jalannya perang berdarah itu lewat fiksi sejarah. Khususnya, penulis dalam ceritanya menyambung benang merah antara Kekhalifahan Turki Utsmani dan Pulau Jawa yang sempat terputus.

Di dalam sejarah Perang Jawa, banyak orang sudah membaca jika Pangeran Diponegoro bergelar Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah merupakan pemimpin perang gerilya yang tangguh. Beliau pun memiliki satuan-satuan perang, seperti Turkiyo, Burkiyo, dan Arkiyo. Para perwiranya juga disematkan dengan gelar Basya. Namun, amat sedikit buku sejarah yang menjelaskan jika semua penamaan itu terinspirasi dari Turki Utsmani.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dalam buku ini, penulis menggambarkan sosok Nurkandam, Nuryasmin, dan Katib Ali sebagai tokoh dari negeri Ngerum (Turki Utsmani). Mereka didampingi oleh dua Janissary dan seorang sida-sida Tionghoa untuk pergi ke melanglang benua ke Nusantara. Mereka pergi diutus oleh mendiang Wasir Agung Turki Utsmani Alemdar Mushtafa Pasha yang amat bersemangat berekspedisi ke pulau rempah-rempah.

Mushtafa yakin Utsmani memiliki utang sejarah yang harus dilunasi kepada saudara Muslim di Nusantara. Mushtafa pun mengutus para Janissary terakhir untuk membantu mereka. Utang sejarah ini terjadi pada masa Sultan Muhammad al-Fatih berkuasa. Ketika itu, 'Si Penakluk' menutup Konstantinopel sebagai bandar rempah-rempah dunia. Bangsa Eropa yang harus memenuhi kebutuhan rempah memutar kapal-kapal mereka untuk mencari di mana sumber rempah tersebut. Alhasil, kaum berambut jagung ini pun menemukan Nusantara, termasuk Jawa.

Selain mengisahkan tentang kontribusi para Janassiry dalam Perang Jawa, buku ini menggambarkan betapa Diponegoro menjadi sosok pemersatu antara berbagai elemen umat. Di bawah komando jihadnya, sang Ratu Adil menyinergikan kembali para pangeran Keraton, unsur santri, dan masyarakat petani. Ini bisa dilihat dalam struktur militer sang pangeran juga ketika dia mengembangkan taktik Perang Gerilya dari Selarong. Kebutuhan logistik pasukan Diponegoro selalu dibantu oleh para petani, sementara akomodasi selalu disiapkan di pesantren-pesantren.Kita juga akan membaca bagaimana politik licik Belanda yang membuat beberapa Basya nya menyerah.

Kelicikan ini pun berlanjut saat hendak mengadu domba dua Janissary tangguh, yakni Nurkadiem dan Katib Ali lewat catatan harian palsu. Kelicikan Belanda sampai pada puncaknya saat menggiring sang pangeran untuk mau berunding di Magelang. Meski mengaku sebagai bangsa beradab, Belanda ternyata melanggar apa yang disepakati ketika perundingan tidak mencapai kata sepakat. Diponegoro yang diiringi sekitar sembilan ratus rakyat hingga tiba di Magelang dilucuti. Sang pangeran pun ditangkap dan dibuang ke Manado kemudian menghabiskan sisa hidupnya di Makassar.Yang teristimewa, penulis menyajikan pesanpesan dakwah lewat budaya dalam buku ini. Kita akan menyaksikan bagaimana makna filosofis nasi wudhuk (sekarang uduk) dan ayam ingkung sebagai simbol penyucian diri untuk sujud kepada ilahi. Kita juga disuguhkan bagaimana makna keris yang lebih kental nuansa klenik mistis menjadi keris dengan suasana lebih Islami.

Dakwah kultural ini kian berarti manakala coba digugat oleh para pengikut Wahabi. Padahal, syekh mereka, Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab— pendiri Wahabi — kebanyakan sejalan dengan banyak ritual yang kerap dilakukan di Jawa, seperti ziarah kubur dan sebagainya.Buku ini memang —seperti yang dikukuhkan penulisnya — berstatus fiksi dengan level kepercayaan yang bertingkat-tingkat. Status fiksi tidak bisa begitu saja dibilang menurunkan 'kualitas dan martabat' buku ini.

Lewat fiksi sejarah, 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir' hendak menggedor-gedor kaum Muslimin khususnya di tanah Jawa agar kembali meneladani jalan dakwah Sang Pangeran lewat persatuan umat.

Judul : Sang Pangeran dan Janisarry Terakhir

Penulis : Salim A Fillah

Penerbit : Pro U Media

Tahun Cetak : 2019T

ebal Buku : 632 Halaman

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Pecinta Nasi Uduk