Peluang dan Tantangan Dai Indonesia di Luar Negeri

News  

Dakwah merupakan kata kerja yang amat tua. Perbuatan yang merujuk pada tugas nabi dan rasul untuk mengenalkan Sang Pencipta dan seperangkat nilai moral kepada masyarakat tersebut diwariskan kepada ulama dari sejak lama. Mereka berjalan lintas provinsi bahkan negara untuk menebar nilai-nilai ketuhanan.

Dari nusantara, para ulama memiliki tradisi bertandang ke negeri seberang. Mereka akan menuntut ilmu sambil pergi haji ke Tanah Makkah. Nama mereka pun harum sebagai imam dan pemberi fatwa. Kitab-kitabnya menjadi rujukan hingga kini. Sekembalinya dari Tanah Suci, mereka menjadi sosok terdepan dalam melawan pasukan kolonial.

Nama-nama seperti Abdul Ra’uf As-Singkili (1615-1730), Muhammad Yusuf Al Makassari (1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (1646-1704), Abdus Shomad Al Palimbani (1704-1789), Syekh Arsyad Al Banjari (1710-1812), Syekh Nawawi Al Bantani (1813-1897), menjadi sedikit yang bisa kita ingat. Cendikiawan Muslim almarhum Azzumardi Azra menyebut beberapa diantara mereka membuat jaringan ulama nusantara yang masih berporos pada Haramain (Makkah dan Madinah).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menariknya, Prof Azra mngungkapkan jika jejaring para ulama abad 17-18 tersebut yang menancapkan akar moderasi beragama di Indonesia. Jurang antara ulama tasawuf dan fiqih yang terjadi sebelumnya bisa dipertemukan bahkan muncul praktik keagamaan yang disebut Azra sebagai neosufisme. Warisan akar moderasi beragama dari ulama-ulama terdahulu tersebut hendaknya menjadi semacam penyemangat tatkala mengenalkan Islam ke penjuru bumi.

Pengiriman para duta dakwah pada zaman ini memiliki misi untuk mengembalikan kembali wajah Islam yang lebih teduh kepada dunia. Program dai internasional dari Kementerian Agama hingga berbagai lembaga amil zakat nasional (Laznas) seperti Dompet Dhuafa patut didukung. Moderasi beragama khas ‘neo sufisme’ yang diwariskan walisongo dan para ulama nusantara bisa ditularkan ke dunia luar sehingga vibes Islam Rahmatan lil Alamin menjadi milik semua.

Pada abad ini, terdapat beragam tantangan yang mesti dihadapi para dai mengingat citra Muslim belum sepenuhnya pulih. Sebagai contoh, Diantara sepuluh negara rangking terbawah dalam Freedom Index 2022 yang dilakukan oleh World Population Review, hanya dua yang merupakan bukan negara Muslim. Delapan negara lainnya adalah negara Muslim. Hal tersebut menunjukkan jika negara-negara Muslim dipersepsikan antidemokrasi dan kebebasan.

Berikutnya, Islam kerap dibenturkan dengan nilai-nilai HAM karena bertentangan dengan LGBTQ+ yang belakangan ini menjadi kebijakan sejumlah negara barat. Protesnya sejumlah negara terhadap FIFA dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia yang melarang segala bentuk kampanye LGBTQ+ di lapangan menjadi bukti sahih. Perspektif tersebut pun membuktikan jika barat masih menyamakan LGBTQ+ dengan HAM tanpa menghormati nilai dan kultur masyarakat lokal.

Framing media barat masih cenderung negatif dalam mengcapture Islam dan Muslim. Dilansir dari The Conversations, temuan sekitar 250 ribu sampel surat kabar, newsletter, hingga tabloid yang terbit antara 1 Januari 1996-31 Desember 2016 di Amerika Serikat menunjukkan 80 persen diantaranya bernada lebih negatif terhadap Islam. Hal tersebut berbeda dibanding misalnya dengan masyarakat Katolik, Hindu dan Buddha.

Framing tersebut pun menunjukkan masih kuatnya perspektif barat yang mengaitkan terorisme dengan Muslim dan Islam. Meski melepaskan definisi terorisme dari Islam, Global Terorism Index (GTI) 2022 menempatkan sepuluh negara Muslim — dari Afganistan hingga Pakistan sebagai negara paling terdampak terorisme Media pun masih menggunakan istilah Islam dalam tone yang bernada negatif seperti jihadis, Islamis, Umma.

Jurnalis sekaligus kolumnis dari Association of Religion Data Archives, David Briggs, pernah merisaukan tentang i kapan sebenarnya kata Islamist pertama kali digunakan. Briggs mengakui, kata Islamist memang diciptakan oleh dunia barat. Sebelumnya, Islamist justru dibuat untuk memberi predikat kepada seorang Muslim yang diasosiasikan dengan kehidupan sosialnya.

Briggs kemudian mengutip ungkapan dari seorang peneliti asal Universitas Kentucky, Ihsan Bugby. Periset yang membuat survei tentang masjid di Amerika Serikat pada 2011 ini menjelaskan, tadinya dia menyukai terminologi Islamist karena merepresentasikan mereka yang memercayai Islam harus memiliki peran dalam masyarakat. Hanya, Ihsan mengakui bahwa penggunaannya saat ini begitu banyak di media untuk mengekspos citra ekstremis, militan, dan radikal. "Sekarang membingungkan, siapa Islamist?" ujar Bugby yang dikutip oleh David Briggs.

Hanya saja, terpaan informasi negatif tentang Islam dari media sebenarnya tidak selalu berbanding lurus terhadap pertumbuhan Muslim di dunia. Populasi Muslim di negeri minoritas bahkan cenderung meningkat. Di Inggris Raya, persentase muslim mencapai 6,5 persen (3,8 juta jiwa) pada survei 2021. Angka ini meningkat ketimbang populasi 2011 yang mencapai 4,9 persen. Sementara di AS, tingkat populasi Muslim mencapai 3,45 juta jiwa pada 2017. Dalam waktu tidak lama lagi, Muslim diperkirakan akan menggantikan Yahudi sebagai pemeluk agama terbanyak kedua setelah Kristen di negeri Paman Sam.

Tidak hanya itu, PewResearch memprediksi Islam akan menggantikan dominasi Kristen sebagai negara dengan pemeluk terbanyak pada 2050. Saat itu, tingkat pertumbuhan populasi Muslim mencapai 70 persen dibandingkan jumlah populasi sekarang sebanyak 1,8 miliar jiwa.

Karena itu, tidak ada alasan bagi para dai untuk ‘menyerah’ terhadap semangat Islamofobia yang disebar oleh media barat. Peluang para dai untuk membalikkan semua opini media tersebut masih ada. Terlebih, kita berada pada era digital yang semuanya serba terbuka. Tidak sedikit media yang gulung tikar atau setidak-tidaknya beradaptasi untuk ikut menjadi digital. Tingginya produktivitas warganet dalam memproduksi berita membuat CNN atau BBC tak akan lagi mampu menutupi cerita bahwa ada sosok berjanggut dan bercelana cingkrang yang membagikan roti untuk jemaat gereja — misalnya.

Lewat teknologi tersebut, para dai dimungkinkan untuk membentuk opini sendiri. Mereka punya peluang untuk membentuk citra Islam Rahmatan Lil’alamin saat berdakwah di luar negeri lewat kreasi konten. Tentu saja, jejaring dengan media mainstream di Tanah Air tetap dibutuhkan. Media mainstreamlah yang memberi stempel jika konten-konten tersebut tepercaya. Lantas, apa saja konten yang bisa diproduksi para dai selama bertugas di luar negeri?

Para dai seyogyanya membangun narasi moderasi beragama saat berdakwah di negeri orang. Posisi mereka saat menjadi minoritas tentu akan menjadi tantangan karena mereka sedang keluar dari zona nyaman. Kearifan lokal khas Muslim Indonesia sebenarnya bisa menjadi konten menarik yang bisa diulas saat mereka berada di negeri orang. Muslim Indonesia yang dikenal lebih ramah karena punya banyak tradisi bernafaskan ukhuwah dan gotong royong bisa diulas sebagai konten.

Mereka bisa mengangkat bagaimana komunitas Muslim setempat bisa bertahan dan beradaptasi sebagai minoritas tanpa harus meninggalkan identitasnya. Bagaimana pula komunitas tersebut menyelenggarakan pendidikan agama bagi keluarga mengingat pemerintah setempat di banyak negara Eropa misalnya, tidak menyelenggarakan pendidikan agama.

Meski banyak kalangan menilai jika Islamofobia sudah meredup, semangat tersebut masih terasa di beberapa negara yang pernah menghadapi serangan teroris dan negara yang dibanjiri imigran. Strategi bagaimana komunitas Muslim menangkal isu tersebut juga menjadi konten menarik untuk dibahas. Bagimana misalnya, mereka memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat.

Tidak hanya itu, para dai bisa membuat konten perihal penerapan fiqih minoritas. Saat menjadi minoritas dimana jumlah masjid masih jarang misalnya, bagaimana masyarakat Muslim tetap menyelenggarakan sholat Jumat? Bagaimana mereka harus memenuhi standar makanan halal saat menu yang ditawarkan dipenuhi pork dan wine. Akhirul kalam, orientalis John Esposito pernah berujar, “Umat Islam hendaknya belajar (sungguh-sungguh) dari Islam itu sendiri.” Bukan tanpa sebab Esposito mengatakan itu. Moderasi dan toleransi sudah menjadi gen dalam diri orang Muslim.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Pecinta Nasi Uduk

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image